Minggu, 15 Januari 2012

Resensi Novel : Believe

Judul                : Believe
Penulis             : Morra Quatro
Penerbit           : GagasMedia
ISBN               : 979-780-526-3
Tebal               : 212 halaman

Setiap orang pernah jatuh cinta, dalam sebuah proses saling mencintai diperlukan kepercayaan yang kuat di antara masing-masing orang yang mengalami. Believe, sebuah novel kedua karya Morra Quatro mengangkat tema rasa saling percaya dalam sebuah hubungan dengan sudut pandang yang berbeda.

Believe merupakan novel yang bercerita tentang sepasang tokoh yang bernama Langit dan Alya (Biru) yang berusaha mempertahankan hubungan mereka di tengah pertentangan dari masing-masing pihak keluarga. Langit dan Biru saling mempercayai bahwa mereka akan tetap bersama dan percaya bahwa Tuhan akan tetap mempersatukan mereka.


Langit yang berasal dari keluarga yang kaku, yang mempunyai aturan tidak tertulis, yaitu setiap anak lelaki yang ada di keluarga tersebut harus kuliah master di universitas al-azhar di Mesir -seperti abangnya yang lain. Keberangkatan Langit ke Mesir membuatnya harus meninggalkan Biru yang disaat bersamaan sedang berupaya keluar dari bayang-bayang nama besar ayahnya dan menghadapi upaya perjodohan secara tidak langsung yang dilakukan ayahnya tersebut.


Kisah cinta antara Langit dan Biru di dalam novel ini sebenarnya tidak rumit. Hanya cerita tentang dua pasang manusia yang berusaha mempertahankan dan mempercayai hati mereka masing-masing, bahwa mereka akan dapat melewati cobaan dan akan tetap bersama. Hal yang menarik dalam novel ini, bukanlah cerita tentang bagaimana Langit dan Biru berusaha mempertahankan hubungan mereka, namun bagaimana mereka belajar dan meminta do'a dari orang lain agar Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa tetap membuat mereka bersama.


"Tuhan mengabulkan doa just when He feels like it, Biru, you know what I mean. Ada doa-doa yang pasti terkabul, memang, seperti doa para Mujahid atau doa orang yang teraniaya. Empat puluh memang angka yang istimewa. Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasil pada usia empat puluh, Allah menyempurnakan Taurat kepada Musa dalam empat puluh malam."
"Aku akan ngumpulin amin dari empat puluh orang." (Hal. 5)


Gaya penceritaan yang dituliskan oleh Morra Quatro sangat menarik untuk diikuti. Morra menulis Believe dengan sudut pandang orang pertama dimana Langit dan Biru menjadi tokoh 'aku' dalam cerita di setiap babnya. Namun, dalam narasi penceritaannya, sang tokoh tidak terlibat dalam cerita. Dia hanya mengulang kembali cerita yang didengar atau dilihat dari sudut pandangaku. Misal : saat bab ketika Langit menceritakan kisah tentang Jendra dan Jasmine, Attar dan Rein atau Wolf dan Arra. Sedangkan Biru yang bercerita tentang Faris, Neil, dan Ayahnya. Seolah-olah cerita per bab ditulis dengan gaya penceritaan sudut pandang ketiga.


Hal menarik lainnya yang membuat novel ini terasa begitu manis adalah bertebarannya kata-kata puitis yang menguatkan hati. Kalimat-kalimat indah yang memotivasi atau menyadarkan diri pembaca secara tidak langsung.


"Pada saat kamu jatuh cinta, jatuh cintalah. Karena, mungkin setelah itu, kamu tidak akan jatuh cinta sedalam itu lagi. Karena mungkin itulah yang akan menjadi cinta hidupmu." (Hal. 94)


"Ada saatnya untuk segala sesuatu, La. Dan, dalam perjalanan menuju saat itu, you'll never walk alone." (Hal. 106)


"Bila ada sesuatu yang tidak bisa dikalahkan oleh cinta, maka itu adalah jarak." (Hal. 117)


Melalui sebuah proses pembelajaran dari kisah Wolf, Attar dan Jendra, Langit mengambil nilai-nilai yang terkandung disana. Belajar untuk mengalahkan waktu demi cintanya kepada Biru. Belajar untuk mengambil sikap dan keluar dari zona nyaman untuk dapat tetap bersatu dengan Biru. Sementara biru belajar dari pengalamannya sendiri, Faris dan Neil, kedua pria itu menyadarkan Biru tentang arti Langit dalam hidupnya. Semua hal itu menambah nilai positif novel ini.


Namun dibalik gaya penulisan yang menarik tersebut, masih terdapat celah. Waktu. Alur yang dipakai oleh penulis adalah alur maju-mundur, dimana masing-masing tokoh menceritakan kembali kejadian yang pernah dialami di masa lalu. Namun tidak diberi keterangan yang rinci kapan kejadian yang diceritakan itu terjadi. Lalu, tokoh tidak penting yang digunakan dalam cerita terlalu banyak. Sehingga membuat pembaca sedikit bingung, siapa saja tokoh yang menjadi teman dari Langit dan Biru.


Ending yang dituliskan memang manis. Langit dan Biru akhirnya bersama, dan kepercayaan yang mereka miliki akhirnya dijawab oleh Tuhan. Namun penceritaan di bab terakhir menjelang ending terasa sekali sangat dipaksakan dan blur. Bagaimana Langit akhirnya memutuskan meninggalkan kuliahnya di Mesir dan kembali di Jakarta. Bagaimana Langit memberi pengertian kepada ayahnya agar dapat menerima Langit. Siapa Neil? lalu cerita bagaimana Langit berhasil meyakinkan bundanya atas pilihannya meninggalkan kuliahnya. Hal itu masih terasa mengambang dan tidak jelas. Saya memberikan rating 7 dari 10 bintang.

8 komentar:

  1. "Pada saat kamu jatuh cinta, jatuh cintalah. Karena, mungkin setelah itu, kamu tidak akan jatuh cinta sedalam itu lagi. Karena mungkin itulah yang akan menjadi cinta hidupmu." (Hal. 94)

    Kyaaaahhh qoute yang bagus tapi agak menjebak sebenarnya, kikikik :)

    Nice review by the way :)

    BalasHapus
  2. "Ada saatnya untuk segala sesuatu, La. Dan, dalam perjalanan menuju saat itu, you'll never walk alone." (Hal. 106)
    Penulisnya penggemar LFC ya? :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu kutipan di salah satu Bab, dimana tokoh yang ngucapin quotes itu adalah pendukung LFC :D
      kalau penulisnya, ga tau juga deh pendukung LFC juga apa nggak :D

      Hapus
  3. Balasan
    1. Iya nih, pre order duluan sama penulisnya. Jadi bisa bikin review secepatnya. :D

      Hapus
  4. Dmna, kapan ceritanya terjadi? Di bagian awal tengah &akhir?
    #butuh jwabang nya:)

    BalasHapus