Sabtu, 17 Maret 2012

Resensi Novel : Kimi Wo Shinjiteru

Judul : Kimi Wo Shinjiteru (Believe In You)
Penulis : Rina Shu
Penerbit : Dive Press
ISBN : 978-602-191-221-8
Tebal : 351 halaman

Tidak ada yang sempurna, yang ada hanya saling menyempurnakan. Rasa saling percaya yang diamini oleh hati menjadi pintu pertama untuk saling melengkapi satu sama lain. Ketika rasa percaya itu hilang, akan ada sebuah trauma besar di dalam hati. Sebuah ketakutan akan hal sama akan terjadi kembali ; penghianatan.

Kiwi Wo Shinjiteru adalah novel debut dari Rina Hapsarina yang memakai nama pena Rina Shu. Sebuah novel yang bercerita tentang Shira seorang gadis yang tidak sempurna dalam segi fisik, karena dia menderita polio di salah satu kakinya sehingga mengharuskannya untuk menggunakan sepatu khusus penyandang polio. Masa lalu asmara yang pahit, sebuah penghianatan dari lelaki yang dicintainya, Yuza. Sebuah penghianatan terhadap rasa percaya yang telah diberikan oleh hatinya, membuat Shira tidak percaya lagi oleh sebuah rasa cinta. Hal yang membuat hatinya trauma untuk menerima kehadiran lelaki lain di dalam hidupnya.

Shira yang tidak sempurna dalam fisik dapat beraktifitas normal seperti biasa berkat sepatu khususnya. Dia bekerja sebagai jurnalis musik di sebuah majalah. Kehidupannya yang perlahan berangsur normal paska keterpurukannya ditinggal menikah oleh Yuza harus kembali mengalami gejolak. Kehadiran Reiga, seorang fotografer baru di kantornya, membuat hatinya kembali jatuh bangun. Dalam hatinya Shira mengakui bahwa dirinya terpikat oleh Reiga, namun logika dengan keras menolak semua pernyataan cinta yang Reiga berikan. Luka yang pernah ada masih terasa.  Trauma masih membayang jelas di hatinya. Sebuah rasa percaya menjadi sangat mahak harganya.

Dalam menghadapi segala masalahnya, putus dengan Yuza, Reiga yang mendekatinya, dan Alena yang ternyata menyukai Reiga sejak lama, Shira selalu bersandar pada Rana, sahabat terbaiknya. Seorang wanita penyandang Muscular Distrophy, namun Rana tidak dapat berjalan sendiri, dia harus duduk di kursi roda. Rana adalah tempat Shira bersandar, tempat Shira mencurahkan semua keluh kesah hatinya dan tempatnya bercerita tentang segala gundah hati yang dirasakannya.

Secara garis besar, Kimi Wo Shinjiteru berkisah tentang jatuh bangunnya hati seorang wanita. Wanita tidak sempurna yang takut untuk membuka hatinya dan mempercayakannya lagi pada lelaki lain, semenjak kisah kelam yang dialaminya. Kisah tentang kuatnya persahabatan antara Shira dan Rana. Dalamnya jalinan persahabatan di antara mereka. Kisah tentang hancurnya perasaan Shira saat Rana harus pergi akibat penyakit leukimia yang dideritanya. Kisah tentang betapa kerasnya usaha yang dilakuan Reiga untuk membuat Shira mempercayakan hatinya kepada Reiga, dan tentang indahnya kisah cinta antara Rana dan Gillian.

Penceritaan yang penulis suguhkan di novel Kimi Wo Shinjiteru ini cukup apik. Dikemas dengan gaya penceritaan yang simple, sehingga mudah untuk dicerna dan dipahami. Emosi antar kisah dan tokoh yang penulis ciptakan di novel ini sungguh mengesankan. Saya dapat merasakan emosi yang dirasakan oleh Shira, saat bahagia, kecewa, dan terutama saat Shira kehilangan sosok Rana yang selama ini menjadi setengah dari tiang penyangganya untuk tetap kuat. Kalimat-kalimat motivasi diri juga bertebaran di novel ini, sekelumit baris kata-kata yang cukup membuat saya merenung.

"... Apapun alasannya, kita ini 'cuma' wakil Tuhan. Dan, kita harus menjalankan hidup yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita dengan sebaik-baiknya." (Hal. 19)


"Tubuh manusia itu gampang beradaptasi. Yang nggak punya tangan, kaki beradaptasi menggantikan tangan. Yang bisu, tangan dengan mudah berbicara menggantikan mulut. Dan yang buta, mata hatinya yang berperan. (Hal. 149)


"Kacau atau nggak kacaunya hidup kamu, cuma kamu yang bisa putusin. Hidup itu pilihan, Ra. Cuma kamu yang bisa tentuin gimana seharusnya hidup kamu." (Hal. 183)


"Bukankah untuk merasakan kebahagiaan, kita harus merasakan sakit dulu? Itu sebabnya, kita bisa mengerti arti sebuah kebahagiaan karena kita pernah merasakan dan mengalami apa yang melukai hati dan membuat mata kita menangis." (Hal.277)


"Nggak ada sesuatu yang nggak mungkin. Menidakmungkinkan sesuatu berarti menidakmungkinkan Tuhan. (Hal. 278)

Namun, tempo cerita yang lambat di awal cerita, sedikit membuat kenyamanan dan keasikkan membaca novel ini sedikit terganggu. Terdapatnya beberapa bagian cerita yang tidak berhubungan, membuat narasi di novel ini sedikit bertele-tele.

Disamping kelebihan dan kekurangan yang terdapat di novel ini. Saya sangat mengapresiasi karya ini. Karya yang sangat memberikan saya motivasi diri. Penulis novel ini, Rina Hapsarina, merupakan  penyandang Muscular Distrophy. Dia mampu menghadirkan cerita yang cukup merepresantasikan keadaan orang-orang seperti dirinya  dengan sangat baik di novel ini. Novel yang menjadi pembuktian diri bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Dari hati yang terdalam, saya menyatakan kekaguman dan hormat kepada Rina Hapsarina. Dari rating 1-10, saya memberikan poin 8 untuk novel Kimi Wo Shinjiteru.

Minggu, 26 Februari 2012

Resensi Novel : Gandamayu


Judul                : Gandamayu
Penulis             : Putu Fajar Arcana
Penerbit           : Penerbit Buku Kompas
ISBN                : 978-979-709-622-9
Tebal               : 190 halaman

Peperangan antar saudara, dimana Pandawa dan Korawa saling berebut tahta. Kisah tentang pengorbanan dan keteguhan hati dari seorang anak, kasih sayang orang tua, rasa percaya dari saudara kandung, sikap menjaga harga diri seorang ksatria serta keikhlasan dari pengabdian seorang istri.

Gandamayu adalah sebuah novel sastra yang ditulis oleh Putu Fajar Arcana. Sebuah novel yang mengambil sepenggal kisah Mahabharata, dengan setting awal cerita dari sebuah tempat bernama Setra Gandamayu, tempat paling angker di muka bumi. Kuburan paling menyeramkan dan tempat paling ditakuti untuk disinggahi, bukan hanya oleh manusia, namun Dewa sekalipun enggan untuk kesana.

Novel Gandamayu bercerita tentang Dewi Uma yang dikutuk oleh suaminya Dewa Siwa. Dewi Uma dikutuk oleh Dewa penguasa kahyangan itu menjadi Dewi Durga, seorang Dewi kematian yang buruk rupa dan kejam. Dewi Uma yang perangainya lembut dan penurut, harus menjalani perannya sebagai Dewi Durga yang bengis, kejam dan tak punya hati. Dikutuknya Dewi Uma sendiri bukan karena kesalahannya sendiri, melainkan bentuk pengorbanan yang dilakukannya untuk memenuhi permintaan Dewa Siwa yang sedang mengujinya sebagai istri.

Saat mengutuk Dewi Uma menjadi Dewi Durgaa, Dewa Siwa memberitahu bahwa hanya Sahadewa yang merupakan keturunan ksatria Pandawa yang dapat meruwatnya kembali menjadi Dewi Uma. Karena hal inilah Dewi Durga melalui pelayannya Kalika–yang juga seorang penghuni kahyangan namun dikutuk menjadi setan yang buruk rupa akibat membunuh suami dan empat puluh orang lainnya–membawa paksa Sahadewa dari kediamannya di Kerajaan Indraprasta. Kalika merasuki tubuh Kunti–ibu madu Sahadewa–yang membawa paksa Sahadewa ke Setra Gandamayu. Kemudian Sahadewa diancam akan dibunuh oleh Dewi Durga apabila tidak meruwat dirinya kembali menjadi Dewi Uma. Sahadewa yang tidak tahu apa-apa hampir saja dibunuh oleh Dewi Durga andai Dewa Siwa tidak menolongnya dengan merasuk ke dalam dirinya dan membacakan mantra untuk meruwat Dewi Durga menjadi Dewi Uma.

Setelah Dewi Durga kembali menjadi Dewi Uma, Setra Gandamayu yang tadinya merupakan tempat paling menyeramkan berubah menjadi padang bunga yang indah dipenuhi oleh bunga-bunga indah. Selepas kisah peruwatan Dewi Durga menjadi Dewi Uma, novel Gandamayu bercerita tentang perang antara Pandawa dan Korawa. Dimana pihak Pandawa hampir kalah akibat Korawa dibantu oleh dua raksasa Kalantaka dan Kalanjaya yang bahkan Bima dan Arjuna sekalipun sebagai ksatria terkuat tak dapat mengalahkannya. Lalu keteguhan hati Nakula yang merupakan saudara kembar Sahadewa untuk mencari Sahadewa ke Setra Gandamayu, yang percaya bahwa saudara kembarnya itu masih hidup dan tidak mati dibunuh oleh Dewi Durga.

Dalam novel Gandamayu sangat banyak nilai-nilai sosial dan pelajaran tentang kehidupan yang dapat diambil. Membaca Gandamayu terkadang sering membuat saya merenung kembali. Merenungi dan meresapi nilai2 yang disajikan di dalam novel sastra ini.

“Ketika kebodohan dan kemiskinan membekap kita, maka hanya ada dua pilihan yang mungkin, yakni mengabdi pada penguasa atau sekalian menjadi bajingan.” (Hal. 74)

“Nafsu amarah yang setiap saat keluar menjadi aura tidak menyenangkan pada alam sekelilingnya.” (Hal. 87)

“Rasa hanya berhubungan dengan ketulusan terima kasihkita atas anugerah makanan yang diberikaan hari ini oleh alam.” (Hal. 89)

Meski pun Gandamayu merupakan termasuk kategori novel sastra namun Putu Fajar Arcana dengan apik mengemasnya dengan penulisan yang sederhana dan ringan. Sehingga saat membaca novel ini pembaca dapat menikmati tiap bab yang disajikan.

Namun, ada kelemahan yang sangat tampak saat saya membaca novel ini. Yaitu dalam hal sudut pandang penceritaan. Terkadang sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang orang pertama. Dimana penulis seolah menjadi Sahadewa, dan menceritakan dari sudut pandang putra bungsu keluarga Pandawa tersebut, namun terkadang di bab lain, penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga, dimana penulis menceritakan kisah sebagai orang yang serba tahu.

Walau dengan beberapa kekurangan yang ada dalam novel ini, saya sebagai pembaca yang jarang membaca kisah sastra, apalagi kisah sastra Mahabharata dan lainnya, cukup dapat menikmati novel ini. Dari rating 1-10 saya memberikan nilai 7.

Kamis, 19 Januari 2012

Resensi Novel : Joker

Judul : Joker
Penulis : Valiant Budi
Penerbit: GagasMedia
ISBN : 979-780-107-1
Tebal : 238 halaman
Cetakan : II, 2011


Setiap orang punya topeng dirinya masing-masing. Selalu ada yang disembunyikan oleh seseorang dan tak pernah orang lain tahu. Orang-orang seperti ini yang disebut Joker, dimana orang lain tak pernah tahu apa isi sebenarnya orang tersebut.


Joker adalah novel debut karya Valiant Budi. Karya perdana yang menjadikannya salah satu nominator Penulis Muda Berbakat Khatulistiwa Literaty Award tahun 2007. Joker dicetak ulang oleh penerbit gagasmedia untuk menjawab permintaan pembaca yang menginginkan hidupnya kembali sang Joker.


Novel Joker bercerita tentang kehidupan dua tokoh bernama Brama dan Alia. Dua tokoh yang sangat kontras dalam hal kepribadian. Brama adalah seorang lelaki pendiam yang dianggap aneh oleh orang-orang sekitarnya, namun menurut Brama, orang-orang disekitarnya lah yang sudah bersikap aneh. Sementara Alia adalah seorang lajang dengan fantasi liar. Di dalam pikirannya lebih banyak berkisar kemaluan pria dan pemuas hawa nafsu seksnya saja.


Ada tiga jenis novel dalam pandangan saya, yaitu ; novel bagus dengan penceritaan buruk, novel buruk dengan penceritaan bagus dan novel bagus dengan penceritaan bagus. Dan Joker adalah jenis ketiga dalam pandangan saya. Penceritaan Joker yang dituliskan oleh Valiant Budi (Vabyo) sangat berbeda. Membaca novel seperti menyusun puzzle, dimana setiap cerita di Bab dalam novel Joker merupakan potongan-potongan puzzle yang berbeda, namun direkatkan oleh ending. Awal-awal membaca Joker, saya terkesan dengan gaya tulisan yang elegan. Perpaduan antara gaya tulisan yang jujur dan apa adanya dengan gaya tulisan yang puitis romantis.


Gaya penulisan Vabyo ini membuat pembaca digiring pada sebuah opini, yang ternyata opini tersebut tidaklah semuanya benar. Seperti Joker yang mampu menutupi semua isi sebenarnya. Vabyo membuat pembaca tercengan dengan ending yang mementahkan setiap logika dan asumsi yang sudah dibangun di Bab sebelumnya.


Selain cara penulisannya yang elegan, di novel Joker, Vabyo juga menyelipkan beberapa quotes-quotes yang simple, apa adanya, jujur, namun sangat mengena.


"Cinta itu seperti rasa lapar. Lo bakal milih makanan yang sesuai selera buat bikin kenyang. Nafsu adalah selera itu sendiri. Dan kadang kalo kita ngelihat makanan yang sesuai selera, kita gak butuh rasa lapar lagi." (Hal. 18)


"Waktu itu bisu! Selamanya gak akan pernah bisa jawab!" (Hal. 46)


"If you can't beat them, so just be them!" (Hal. 130)


"Gula bakalan kerasa lebih manis setelah makan yang pahit-pahit." (Hal. 214)


"Setiap kebenaran akan datang pada setiap kesalahan." (Hal. 215)


Membaca Joker seperti membaca kehidupan penyiar yang diceritakan dalam tokoh Brama. Bagaimana nasib seorang penyiar bersama masalah-masalah umum yang dihadapinya. Vabyo juga dengan cerdas menyusun setiap cerita dengan ganjil, dimana pembaca akan bertanya-tanya apa yang terjadi sebenarnya. Puisi-puisi singkat yang terdapat dalam bagian bab per bab di novel Joker semakin menambah pembaca bingung untuk menebak arah cerita. Membuat pembaca berfikir dengan banyak opsi, menebak siapa yang menjadi Joker sebenarnya. Dan ending yang disajikan oleh Vabyo baru bisa menuntaskan setiap pertanyaan yang ada di benak pembaca.


Namun dibalik penulisan yang elegan, tetap ada celah didalamnya. Penulisan yang seperti potonngan puzzle ini membuat pembaca yang tidar sabaran akan segera meninggalkan novel ini saat baru setengah membaca. Sebab ada di beberapa bagian bab yang terasa menjemukan dan sangat tidak nyambung.  Lalu kelemahan selanjutnya adalah ketidak-konsistenan dalam penulisan. Vabyo membuka penceritaan novel Joker dengan bab awal yang sangat tidak menggigit dan cenderung membosankan, serta tidak nyambung sama sekali dengan bab keduanya.


Diantara kelemahan dan kelebihan yang terdapat di novel Joker, saya mengapresiasi Vabyo yang mampu menuliskan karya ini sebagai karya debutnya di dunia penulisan. Karya yang cukup elegan dan 'berbeda' dengan novel kebanyakan yang terbit di tahun 2007. Saya memberi rating 7 dari 10 bintang.

Minggu, 15 Januari 2012

Resensi Novel : Believe

Judul                : Believe
Penulis             : Morra Quatro
Penerbit           : GagasMedia
ISBN               : 979-780-526-3
Tebal               : 212 halaman

Setiap orang pernah jatuh cinta, dalam sebuah proses saling mencintai diperlukan kepercayaan yang kuat di antara masing-masing orang yang mengalami. Believe, sebuah novel kedua karya Morra Quatro mengangkat tema rasa saling percaya dalam sebuah hubungan dengan sudut pandang yang berbeda.

Believe merupakan novel yang bercerita tentang sepasang tokoh yang bernama Langit dan Alya (Biru) yang berusaha mempertahankan hubungan mereka di tengah pertentangan dari masing-masing pihak keluarga. Langit dan Biru saling mempercayai bahwa mereka akan tetap bersama dan percaya bahwa Tuhan akan tetap mempersatukan mereka.


Langit yang berasal dari keluarga yang kaku, yang mempunyai aturan tidak tertulis, yaitu setiap anak lelaki yang ada di keluarga tersebut harus kuliah master di universitas al-azhar di Mesir -seperti abangnya yang lain. Keberangkatan Langit ke Mesir membuatnya harus meninggalkan Biru yang disaat bersamaan sedang berupaya keluar dari bayang-bayang nama besar ayahnya dan menghadapi upaya perjodohan secara tidak langsung yang dilakukan ayahnya tersebut.


Kisah cinta antara Langit dan Biru di dalam novel ini sebenarnya tidak rumit. Hanya cerita tentang dua pasang manusia yang berusaha mempertahankan dan mempercayai hati mereka masing-masing, bahwa mereka akan dapat melewati cobaan dan akan tetap bersama. Hal yang menarik dalam novel ini, bukanlah cerita tentang bagaimana Langit dan Biru berusaha mempertahankan hubungan mereka, namun bagaimana mereka belajar dan meminta do'a dari orang lain agar Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa tetap membuat mereka bersama.


"Tuhan mengabulkan doa just when He feels like it, Biru, you know what I mean. Ada doa-doa yang pasti terkabul, memang, seperti doa para Mujahid atau doa orang yang teraniaya. Empat puluh memang angka yang istimewa. Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasil pada usia empat puluh, Allah menyempurnakan Taurat kepada Musa dalam empat puluh malam."
"Aku akan ngumpulin amin dari empat puluh orang." (Hal. 5)


Gaya penceritaan yang dituliskan oleh Morra Quatro sangat menarik untuk diikuti. Morra menulis Believe dengan sudut pandang orang pertama dimana Langit dan Biru menjadi tokoh 'aku' dalam cerita di setiap babnya. Namun, dalam narasi penceritaannya, sang tokoh tidak terlibat dalam cerita. Dia hanya mengulang kembali cerita yang didengar atau dilihat dari sudut pandangaku. Misal : saat bab ketika Langit menceritakan kisah tentang Jendra dan Jasmine, Attar dan Rein atau Wolf dan Arra. Sedangkan Biru yang bercerita tentang Faris, Neil, dan Ayahnya. Seolah-olah cerita per bab ditulis dengan gaya penceritaan sudut pandang ketiga.


Hal menarik lainnya yang membuat novel ini terasa begitu manis adalah bertebarannya kata-kata puitis yang menguatkan hati. Kalimat-kalimat indah yang memotivasi atau menyadarkan diri pembaca secara tidak langsung.


"Pada saat kamu jatuh cinta, jatuh cintalah. Karena, mungkin setelah itu, kamu tidak akan jatuh cinta sedalam itu lagi. Karena mungkin itulah yang akan menjadi cinta hidupmu." (Hal. 94)


"Ada saatnya untuk segala sesuatu, La. Dan, dalam perjalanan menuju saat itu, you'll never walk alone." (Hal. 106)


"Bila ada sesuatu yang tidak bisa dikalahkan oleh cinta, maka itu adalah jarak." (Hal. 117)


Melalui sebuah proses pembelajaran dari kisah Wolf, Attar dan Jendra, Langit mengambil nilai-nilai yang terkandung disana. Belajar untuk mengalahkan waktu demi cintanya kepada Biru. Belajar untuk mengambil sikap dan keluar dari zona nyaman untuk dapat tetap bersatu dengan Biru. Sementara biru belajar dari pengalamannya sendiri, Faris dan Neil, kedua pria itu menyadarkan Biru tentang arti Langit dalam hidupnya. Semua hal itu menambah nilai positif novel ini.


Namun dibalik gaya penulisan yang menarik tersebut, masih terdapat celah. Waktu. Alur yang dipakai oleh penulis adalah alur maju-mundur, dimana masing-masing tokoh menceritakan kembali kejadian yang pernah dialami di masa lalu. Namun tidak diberi keterangan yang rinci kapan kejadian yang diceritakan itu terjadi. Lalu, tokoh tidak penting yang digunakan dalam cerita terlalu banyak. Sehingga membuat pembaca sedikit bingung, siapa saja tokoh yang menjadi teman dari Langit dan Biru.


Ending yang dituliskan memang manis. Langit dan Biru akhirnya bersama, dan kepercayaan yang mereka miliki akhirnya dijawab oleh Tuhan. Namun penceritaan di bab terakhir menjelang ending terasa sekali sangat dipaksakan dan blur. Bagaimana Langit akhirnya memutuskan meninggalkan kuliahnya di Mesir dan kembali di Jakarta. Bagaimana Langit memberi pengertian kepada ayahnya agar dapat menerima Langit. Siapa Neil? lalu cerita bagaimana Langit berhasil meyakinkan bundanya atas pilihannya meninggalkan kuliahnya. Hal itu masih terasa mengambang dan tidak jelas. Saya memberikan rating 7 dari 10 bintang.