Kamis, 19 Januari 2012

Resensi Novel : Joker

Judul : Joker
Penulis : Valiant Budi
Penerbit: GagasMedia
ISBN : 979-780-107-1
Tebal : 238 halaman
Cetakan : II, 2011


Setiap orang punya topeng dirinya masing-masing. Selalu ada yang disembunyikan oleh seseorang dan tak pernah orang lain tahu. Orang-orang seperti ini yang disebut Joker, dimana orang lain tak pernah tahu apa isi sebenarnya orang tersebut.


Joker adalah novel debut karya Valiant Budi. Karya perdana yang menjadikannya salah satu nominator Penulis Muda Berbakat Khatulistiwa Literaty Award tahun 2007. Joker dicetak ulang oleh penerbit gagasmedia untuk menjawab permintaan pembaca yang menginginkan hidupnya kembali sang Joker.


Novel Joker bercerita tentang kehidupan dua tokoh bernama Brama dan Alia. Dua tokoh yang sangat kontras dalam hal kepribadian. Brama adalah seorang lelaki pendiam yang dianggap aneh oleh orang-orang sekitarnya, namun menurut Brama, orang-orang disekitarnya lah yang sudah bersikap aneh. Sementara Alia adalah seorang lajang dengan fantasi liar. Di dalam pikirannya lebih banyak berkisar kemaluan pria dan pemuas hawa nafsu seksnya saja.


Ada tiga jenis novel dalam pandangan saya, yaitu ; novel bagus dengan penceritaan buruk, novel buruk dengan penceritaan bagus dan novel bagus dengan penceritaan bagus. Dan Joker adalah jenis ketiga dalam pandangan saya. Penceritaan Joker yang dituliskan oleh Valiant Budi (Vabyo) sangat berbeda. Membaca novel seperti menyusun puzzle, dimana setiap cerita di Bab dalam novel Joker merupakan potongan-potongan puzzle yang berbeda, namun direkatkan oleh ending. Awal-awal membaca Joker, saya terkesan dengan gaya tulisan yang elegan. Perpaduan antara gaya tulisan yang jujur dan apa adanya dengan gaya tulisan yang puitis romantis.


Gaya penulisan Vabyo ini membuat pembaca digiring pada sebuah opini, yang ternyata opini tersebut tidaklah semuanya benar. Seperti Joker yang mampu menutupi semua isi sebenarnya. Vabyo membuat pembaca tercengan dengan ending yang mementahkan setiap logika dan asumsi yang sudah dibangun di Bab sebelumnya.


Selain cara penulisannya yang elegan, di novel Joker, Vabyo juga menyelipkan beberapa quotes-quotes yang simple, apa adanya, jujur, namun sangat mengena.


"Cinta itu seperti rasa lapar. Lo bakal milih makanan yang sesuai selera buat bikin kenyang. Nafsu adalah selera itu sendiri. Dan kadang kalo kita ngelihat makanan yang sesuai selera, kita gak butuh rasa lapar lagi." (Hal. 18)


"Waktu itu bisu! Selamanya gak akan pernah bisa jawab!" (Hal. 46)


"If you can't beat them, so just be them!" (Hal. 130)


"Gula bakalan kerasa lebih manis setelah makan yang pahit-pahit." (Hal. 214)


"Setiap kebenaran akan datang pada setiap kesalahan." (Hal. 215)


Membaca Joker seperti membaca kehidupan penyiar yang diceritakan dalam tokoh Brama. Bagaimana nasib seorang penyiar bersama masalah-masalah umum yang dihadapinya. Vabyo juga dengan cerdas menyusun setiap cerita dengan ganjil, dimana pembaca akan bertanya-tanya apa yang terjadi sebenarnya. Puisi-puisi singkat yang terdapat dalam bagian bab per bab di novel Joker semakin menambah pembaca bingung untuk menebak arah cerita. Membuat pembaca berfikir dengan banyak opsi, menebak siapa yang menjadi Joker sebenarnya. Dan ending yang disajikan oleh Vabyo baru bisa menuntaskan setiap pertanyaan yang ada di benak pembaca.


Namun dibalik penulisan yang elegan, tetap ada celah didalamnya. Penulisan yang seperti potonngan puzzle ini membuat pembaca yang tidar sabaran akan segera meninggalkan novel ini saat baru setengah membaca. Sebab ada di beberapa bagian bab yang terasa menjemukan dan sangat tidak nyambung.  Lalu kelemahan selanjutnya adalah ketidak-konsistenan dalam penulisan. Vabyo membuka penceritaan novel Joker dengan bab awal yang sangat tidak menggigit dan cenderung membosankan, serta tidak nyambung sama sekali dengan bab keduanya.


Diantara kelemahan dan kelebihan yang terdapat di novel Joker, saya mengapresiasi Vabyo yang mampu menuliskan karya ini sebagai karya debutnya di dunia penulisan. Karya yang cukup elegan dan 'berbeda' dengan novel kebanyakan yang terbit di tahun 2007. Saya memberi rating 7 dari 10 bintang.

Minggu, 15 Januari 2012

Resensi Novel : Believe

Judul                : Believe
Penulis             : Morra Quatro
Penerbit           : GagasMedia
ISBN               : 979-780-526-3
Tebal               : 212 halaman

Setiap orang pernah jatuh cinta, dalam sebuah proses saling mencintai diperlukan kepercayaan yang kuat di antara masing-masing orang yang mengalami. Believe, sebuah novel kedua karya Morra Quatro mengangkat tema rasa saling percaya dalam sebuah hubungan dengan sudut pandang yang berbeda.

Believe merupakan novel yang bercerita tentang sepasang tokoh yang bernama Langit dan Alya (Biru) yang berusaha mempertahankan hubungan mereka di tengah pertentangan dari masing-masing pihak keluarga. Langit dan Biru saling mempercayai bahwa mereka akan tetap bersama dan percaya bahwa Tuhan akan tetap mempersatukan mereka.


Langit yang berasal dari keluarga yang kaku, yang mempunyai aturan tidak tertulis, yaitu setiap anak lelaki yang ada di keluarga tersebut harus kuliah master di universitas al-azhar di Mesir -seperti abangnya yang lain. Keberangkatan Langit ke Mesir membuatnya harus meninggalkan Biru yang disaat bersamaan sedang berupaya keluar dari bayang-bayang nama besar ayahnya dan menghadapi upaya perjodohan secara tidak langsung yang dilakukan ayahnya tersebut.


Kisah cinta antara Langit dan Biru di dalam novel ini sebenarnya tidak rumit. Hanya cerita tentang dua pasang manusia yang berusaha mempertahankan dan mempercayai hati mereka masing-masing, bahwa mereka akan dapat melewati cobaan dan akan tetap bersama. Hal yang menarik dalam novel ini, bukanlah cerita tentang bagaimana Langit dan Biru berusaha mempertahankan hubungan mereka, namun bagaimana mereka belajar dan meminta do'a dari orang lain agar Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa tetap membuat mereka bersama.


"Tuhan mengabulkan doa just when He feels like it, Biru, you know what I mean. Ada doa-doa yang pasti terkabul, memang, seperti doa para Mujahid atau doa orang yang teraniaya. Empat puluh memang angka yang istimewa. Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasil pada usia empat puluh, Allah menyempurnakan Taurat kepada Musa dalam empat puluh malam."
"Aku akan ngumpulin amin dari empat puluh orang." (Hal. 5)


Gaya penceritaan yang dituliskan oleh Morra Quatro sangat menarik untuk diikuti. Morra menulis Believe dengan sudut pandang orang pertama dimana Langit dan Biru menjadi tokoh 'aku' dalam cerita di setiap babnya. Namun, dalam narasi penceritaannya, sang tokoh tidak terlibat dalam cerita. Dia hanya mengulang kembali cerita yang didengar atau dilihat dari sudut pandangaku. Misal : saat bab ketika Langit menceritakan kisah tentang Jendra dan Jasmine, Attar dan Rein atau Wolf dan Arra. Sedangkan Biru yang bercerita tentang Faris, Neil, dan Ayahnya. Seolah-olah cerita per bab ditulis dengan gaya penceritaan sudut pandang ketiga.


Hal menarik lainnya yang membuat novel ini terasa begitu manis adalah bertebarannya kata-kata puitis yang menguatkan hati. Kalimat-kalimat indah yang memotivasi atau menyadarkan diri pembaca secara tidak langsung.


"Pada saat kamu jatuh cinta, jatuh cintalah. Karena, mungkin setelah itu, kamu tidak akan jatuh cinta sedalam itu lagi. Karena mungkin itulah yang akan menjadi cinta hidupmu." (Hal. 94)


"Ada saatnya untuk segala sesuatu, La. Dan, dalam perjalanan menuju saat itu, you'll never walk alone." (Hal. 106)


"Bila ada sesuatu yang tidak bisa dikalahkan oleh cinta, maka itu adalah jarak." (Hal. 117)


Melalui sebuah proses pembelajaran dari kisah Wolf, Attar dan Jendra, Langit mengambil nilai-nilai yang terkandung disana. Belajar untuk mengalahkan waktu demi cintanya kepada Biru. Belajar untuk mengambil sikap dan keluar dari zona nyaman untuk dapat tetap bersatu dengan Biru. Sementara biru belajar dari pengalamannya sendiri, Faris dan Neil, kedua pria itu menyadarkan Biru tentang arti Langit dalam hidupnya. Semua hal itu menambah nilai positif novel ini.


Namun dibalik gaya penulisan yang menarik tersebut, masih terdapat celah. Waktu. Alur yang dipakai oleh penulis adalah alur maju-mundur, dimana masing-masing tokoh menceritakan kembali kejadian yang pernah dialami di masa lalu. Namun tidak diberi keterangan yang rinci kapan kejadian yang diceritakan itu terjadi. Lalu, tokoh tidak penting yang digunakan dalam cerita terlalu banyak. Sehingga membuat pembaca sedikit bingung, siapa saja tokoh yang menjadi teman dari Langit dan Biru.


Ending yang dituliskan memang manis. Langit dan Biru akhirnya bersama, dan kepercayaan yang mereka miliki akhirnya dijawab oleh Tuhan. Namun penceritaan di bab terakhir menjelang ending terasa sekali sangat dipaksakan dan blur. Bagaimana Langit akhirnya memutuskan meninggalkan kuliahnya di Mesir dan kembali di Jakarta. Bagaimana Langit memberi pengertian kepada ayahnya agar dapat menerima Langit. Siapa Neil? lalu cerita bagaimana Langit berhasil meyakinkan bundanya atas pilihannya meninggalkan kuliahnya. Hal itu masih terasa mengambang dan tidak jelas. Saya memberikan rating 7 dari 10 bintang.